Monday, December 15, 2008

Antara Soeta dan Gambir:We are nice people


Sebuah cerita kecil terkadang membuat kita tersenyum melihat sebuah kenyataan yang selalu berseberangan. Seperti ada yang kaya dan ada yang miskin, ada yang baik ada yang jahat dan semua keterbalikan untuk sebuah dinamika kehidupan. Kita juga sering bermimpi, seperti Jhon Lennon, yang bermimpi tentang semua keadaan yang baik-baik saja, bermimpi semua menjadi sama tanpa perbedaan, sehingga tidak akan terjadi perang dan saling menyakiti.

Saya pernah ada pengalaman kecil yang hikmahnya besar, apalagi terjadi ditengah sebuah ancaman badai krisis global, dimana saya menyaksikan sendiri sebuah kenyataan bahwa bangsa Indonesia memang masih terdapat orang-orang yang ingin berbuat baik dan mau berbuat baik. Kisah ini dimulai ketika saya akan menuju sebuah tempat di Jakarta, ketika itu saya baru saja mendarat di Bandara Soeta-Banten, dan naik Bis Damri menuju Gambir. Didalam bis, seperti biasa kami berebut duluan untuk mendapatkan tempat duduk, alhamdulillah saya dapat tempat dinomer dua paling belakang. Nikmat betul rasanya dalam keadaan lelah saya bias duduk tenang sementara yang lain, sekitar 7-8 orang harus berdiri sampai tujuan. Disebelah saya duduk seorang laki-laki sekitar 40 tahunan, dan bertampang ‘sangar”, rambut agak memutih, badan kekar serta sulit senyum. Saya juga ragu menyapa karena sudah menilai dia sebagai sosok “preman”, gimana enggak mukanya saja sudah galak.

Kami menunggu bis untuk berangkat, dan saya melihat dari semua yang berdiri ada seorang ibu-ibu berusia sekitar 40an juga berdiri diantara para lelaki. Otomatis jiwa ketimuran saya langsung merasa aneh, kok ada ibu-ibu berdiri, harusnya para laki-laki ada yang mengalah. Tapi saya juga kok saat itu nggak sadar kalau saya juga laki-laki, dan setelah tersadar saya berniat akan memberikan tempat saya kepada ibu tersebut. Tapi saya menunggu saat yang tepat, menunggu bis itu jalan, menunggu apabila ada lagi yang masuk bis, siapa tahu dia lebih renta, menunggu-menunggu tanpa bertindak dengan alasan yang saya buat dihati saya.

Setelah bis itu berjalan, saya langsung merasa ini mungkin saatnya saya harus berkorban (merasa sudah hebat mau berkorban), saya mulai beanjak dari tempat duduk. Tiba-tiba, lelaki “sangar” sebelah saya berdiri dengan cepat dan langsung memanggil ibu tersebut untuk menawarkan tempat duduknya. Saya yang sudah terlanjur berdiri kaget malu, kok dia duluan yang menawarkan temapat duduk, dan herannya saya hanya terlambat 1 detik saja. Melihat saya lebih muda, saya katakana, “pak, Bapak aja yang duduk, saya berdiri saja”. Dia menolak, dan terjadi perdebatan kecil agar saling mempersilahkan duduk. Akhirnya saya yang mengalah untuk duduk, karena Bapak tadi keukeh mau berdiri saja. Tiba-tiba ada juga seorang laki-laki dibelakang kami nyeletuk, “ Ya sudah saya saja yang ngalah, Bapak duduk saja dan saya yang bediri!”. Dan tetap saja Bapak “sangar” tadi tidak mau, dia memilih untuk berdiri.

Mengagumkan, itu kata yang tepat melihat suasana islami dan saling menghormati terjadi dalam sebuah bis dimana kami semua tidak pernah kenal satu sama lain. Sebuah niat baik dari orang Indonesia yang menghormati wanita dan memahami pengorbanan seorang lelaki. Saya semua penumpang seperti tersihir dengan suasana itu, semua sepertinya menemukan sebuah cita-cita founding father kita dalam suasana tolong menolong dan tolerasi.

Sayangnya Susana ini dirusak oleh kondektur bis tersebut, dimana setelah kejadian itu dia datang megutip uang dengan ngomel-ngomel, apalagi ketika ibu tadi menyodorkan uang 50rb, dia berkata ketus,”pake uang pas saja, tidak ada kembalian” dengan wajah masam dan nada tinggi dank eras. Saya tersebyum dalam hati, Ya, Allah, Kau tunjukkan sebuah kenyataan, ditengah suasana islami yang baru kami temui dengan suasana haru, Kau tunjukkan suasana lain yang menyakiti hati orang melalui seseorang yang harus mengeluarkan kata-kata kurang pantas lewat nada dan isinya. Hilang suasana ikhlas, sabar dan senyum kami semua, kemudian waktu berlalu dengan penuh hening, tanpa ada percakapan lagi.

Hikmah dari kejadian ini buat saya adalah, ketika kita ingin berbuat baik jangan ditunda satu detikpun. Kejadian diatas membuktikan bahwa ternyata untuk sebuah kebaikan, saya terlalu lambat bertindak sehingga orang lain (yang saya sudah berburuk sangka menganggap dia “sangar”) melakukan tindakan baik lebih dulu, bayangkan saja pahala yang dia dapat. Sedangkan seharusnya kita bias mendapatkan kebaikan yang maksimal jadi kurang maksimal karena terlambat. Kembali menyitir 3M A’a Gym, makanya untuk berubah, marilah kita berubah untuk kebaikan dengan mulai dari diri kita sendiri (dalam konteks ini niatkan untuk kita yang berkorban), mulai dari hal yang kecil, dan mulai saat ini juga (nah ini yang susah, cerita tadi membuktikan saya juga menunggu siapa tau ada yang mau duluan). Semoga dengan kejadian diatas merubah saya dan yang membaca tulisan ini untuk selalu tergugah untuk menjadi lebih baik dari yang kemarin.

No comments: