Dalam keadaan menulis ini aku sedang merinding dan menahan air mata ketika harus berbicara mengenai Rasulullah yang mempunyai True Love, yaitu istri pertamanya. Pada jaman kehidupan Rasulullah, wanita mempunyai derajat yang lebih rendah. Sudah wajar apabila seorang pria mempunyai istri banyak dan juga budak wanita yang banyak. Namun apa yang kita saksikan kepada Junjungan Besar kita Nabi Muhammad SAW, yang mempunyai kesempurnaan rupa ¼ belahan bumi, dengan akhlak, kejujuran, budi pekerti dan menjadi utusan Allah. Yang Rasulullah lakukan adalah menjaga kesetiaannya kepada Cinta Sejatinya, Khadijah sampai akhir hayat Khadijah.
Muhammad Rasulullah pembawa risalah Islam hidup dan tumbuh di lingkungan tradisi poligami, tetapi justru memilih monogami. Rasul menikahi Siti Khadijah ketika berusia 25 tahun dan umat Islam perlu menyadari bahwa perkawinan Rasul yang monogami dan penuh kebahagiaan itu berlangsung selama 28 tahun: 17 tahun dijalani sebelum kerasulan (qabla bi`tsah) dan 11 tahun sesudahnya (ba`da bi`tsah). Kebahagiaan pasangan ini menjadi inspirasi dalam banyak doa pengantin yang dilantunkan pada jutaan prosesi perkawinan umat Islam.
Kalau poligami adalah mulia, mengapa Rasul tidak melakukannya sejak awal? Di mata masyarakat Arab ketika itu, Rasul sangat pantas berpoligami. Semua persyaratan poligami dimilikinya: mampu berbuat adil; keturunan tokoh Quraisy terkemuka; simpatik dan berwajah rupawan; tokoh masyarakat yang disegani; pemimpin agama yang kharismatik; dan terlebih lagi karena Khadijah tidak memberikan anak laki-laki yang hidup sampai dewasa. Namun, Rasul tidak bergeming, tetap pada pilihannya untuk monogami. Bagi Rasul, Khadijah bukan semata isteri teman tidur, melainkan lebih sebagai mitra kerja, teman dialog, tempat curhat, sahabat sejati dan yang pasti adalah belahan jiwa.
Khadijah wafat, Rasul mengalami guncangan hebat, dan begitu dalamnya kepedihan Rasul sehingga tahun kematian Khadijah diabadikan dalam sejarah Islam sebagai “amul azmi” (tahun kepedihan). Sepanjang hayatnya Rasul selalu membicarakan kebaikan dan keluhuran budi perempuan yang amat dicintainya itu. Tiga tahun berlalu dari wafatnya Khadijah, Rasul dihadapkan pada tanggung jawab besar mengembangkan syiar Islam ke Yastrib dan juga ke luar Jazirah Arab. Kondisi masyarakat yang bersuku-suku di kala itu memaksa Rasul harus menjalin komunikasi yang luas dengan berbagai suku agar dapat mendukung perjuangannya, dan perkawinan menjadi alat komunikasi yang strategis. Demikianlah Rasul kemudian menikahi beberapa perempuan demi terlaksananya syiar Islam.
Khadijah r.a mendampingi Muhammad SAW. selama dua puluh enam tahun, yakni enam belas tahun sebelum dilantik menjadi Nabi, dan sepuluh tahun sesudah masa kenabian. Ia isteri tunggal, tak ada duanya, bercerai karena kematian. Tahun wafatnya disebut "Tahun Kesedihan" ('Aamul Huzni).
Khadijah r.a adalah orang pertama sekali beriman kepada Rasulullah SAW. ketika wahyu pertama turun dari langit. Tidak ada yang mendahuluinya. Ketika Rasulullah SAW menceritakan pengalamannya pada peristiwa turunnya wahyu pertama yang disampaikan Jibril 'alaihissalam, dimana beliau merasa ketakutan dan menggigil menyaksikan bentuk Jibril a.s dalam rupa aslinya, maka Khadijahlah yang pertama dapat mengerti makna peristiwa itu dan menghiburnya, sambil berkata:
Wanita Terbaik
Sanjungan lain yang banyak kali diucapkan Rasulullah SAW. terhadap peribadi Khadijah r.a ialah: "Dia adalah seorang wanita yang terbaik, karena dia telah percaya dan beriman kepadaku di saat orang lain masih dalam kebimbanga, dia telah membenarkan aku di saat orang lain mendustakanku; dia telah mengorbankan semua harta bendanya ketika orang lain mencegah kemurahannya terhadapku; dan dia telah melahirkan bagiku beberapa putera-puteri yang tidak ku dapatkan dari isteri-isteri yang lain".
Kesetiaan Khadijah r.a diimbangi oleh kecintaan Nabi SAW kepadanya tanpa terbatas. Nabi SAW pernah berkata: "Wanita yang utama dan yang pertama akan masuk Syurga ialah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad SAW., Maryam binti 'Imran dan Asyiah binti Muzaahim, isteri Fir'aun".
Perjuangan Khadijah
Tatkala Nabi SAW mengalami rintangan dan gangguan dari kaum lelaki Quraisy, maka di sampingnya berdiri dua orang wanita. Kedua wanita itu berdiri di belakang da'wah Islamiah, mendukung dan bekerja keras mengabdi kepada pemimpinnya, Muhammad SAW : Khadijah bin Khuwailid dan Fatimah binti Asad. Oleh karena itu Khadijah berhak menjadi wanita terbaik di dunia. Bagaimana tidak menjadi seperti itu, dia adalah Ummul Mu'minin, sebaik-baik isteri dan teladan yang baik bagi mereka yang mengikuti teladannya.
Bahkan dalam satu kisah, salah satu istri Rasulullah, Aisyah pernah cemburu kepada Khadijah. “Belum pernah aku cemburu terhadap isteri-isteri Rasulullah Sallallahu alaihi wa Sallam sebagaimana cemburunya aku kepada Khadijah, padahal aku tidak pernah melihatnya. Tetapi Rasulullah Sallallahu alaihi wa Sallam selalu menyebut-nyebut namanya, bahkan adakalanya menyembelih kambing dan diberikannya kepada sahabat-sahabat Khadijah. Bahkan pernah aku berkata, “Bukankah Khadijah itu seorang wanita tua? Bukankah Allah sudah memberikan kepadamu pengganti, isteri yang lebih muda dan baik daripadanya?”. Lalu Rasulullah Sallallahu alaihi wa Sallam menyebut, “Tidak! Demi Allah !Dia Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan seorang pengganti yang lebih baik daripadanya. Dia (Khadijah) telah beriman kepadaku pada saat orang-orang mengingkariku. Dia membenarkan ajaran yang aku bawa di saat orang-orang mendustakanku. Khadijah membantuku dengan menginfakkan segenap hartanya ketika orang-orang menahan hartanya dariku dan Allah mengurniakanku beberapa orang zuriat dari rahimnya yang tidak diberikan oleh isteri-isteri yang lain” . [HR. Ahmad, Al-Isti’ab karya Ibnu Abdil Ba’ar].
Subscribe to:
Post Comments (Atom)

No comments:
Post a Comment